Monday, March 21, 2016

It's Takes a Village to Support a Mom

Ada yang salah, bahwa kebanyakan dari kita menganggap bahwa ketika  seorang perempuan menjadi Ibu, maka secara otomatis dia mampu mentransformasi diri utuh dari seorang perempuan single yang lincah kesana kemari, menjadi sosok yang digelayuti anak dan bayi seama 24 jam sehari.

Sebagai konsekuensinya, seringkali ibu dipandang "rendah" hanya karena ia mengeluh lelah. Berkata jenuh tentang rutinitasnya. Atau sekedar curhat, betapa ia merindukan kehidupannya yang "dulu".

Dan ketika keluhannya diabaikan dan berujung pada baby blues, lagi lagi si Ibu yang dipandang tidak mampu mengurus anaknya dengan baik. Atau kurang tough dan mandiri terhadap perannya yang baru.

Saya jadi keingetan kasus penyiksaan Angeline tempo hari. Selepas kasus itu ter-blow-up, muncul banyak nomor hotline yang bisa dihubungi untuk mengadukan adanya penganiayaan anak. Tapi, -tanpa bermaksud membenarkan kasus itu- kemana nomor hotline bagi para Ibu untuk mengadukan lelah dan letih, atau mungkin baby blues mereka?

Punya bayi (baru) itu menguras fisik dan emos yang warbyasak. Kurang tidur. Ditempelin terus. Perut nyut2an. Bekas jahitan cenat cenut. Dan jangankan bisa mandi, ninggalin pipis aja udah diteriakin. Sepanjang hari urusannya seputar nyusuin - ganti popok - nyusuin lagi - ganti popok lagi.

Dan dengan semua kelelahan fisik itu, pas si Ibu baru masih juga "diserang" dengan peranf ASI vs sufor, ibu kerja vs IRT, rumah rapih vs rumah berantakan.. and so on.. and so forth.. kikikikik.. warbyasaak jadi ibu ibu mah :P

Lalu saat si Ibu kelewatan lelahnya, dan menuju baby blues, keceplosan marah marah atau teriak ke anak, seluruh dunia seakan menuding, "Kok udah jadi Ibu marah marah siiihh? Gak sayang anak siiih??" Yeee.. menurut eeelll :P

Dude, jadi ibu itu gak se-smooth yang ditampilkan iklan susu di tv. Dan bayi gak selamanya ketawa cengengesan lucu kayak yang dicitrakan di iklan bedak dan minyak telon 😂😂

Sebelum menyalahkan Ibu kenapa dia bisa baby blues, yuk coba di renungkan lagi..

Mungkin kita adalah suami yang sibuuuk sekali. Sehingga lupa memeluk dan berterimakasih pada istri. Sekedar mengucapkan syukur dan memujinya, karena sudah mengurus anak setiap hari. Padahal dicari keujung dunia pun, apa yang dilakukan sang istri, tak ada yang bisa mengganti..

Mungkin kita adalah sahabat, yang menganggap sepele saat ia ingin curhat. Alpa untuk sekedar berkata, "Hey, jadi Ibu itu gak papa kok kalo mau bilang capek!", bukan malah memanas manasinya dengan cerita parenting kita yang sempurna segala rupa sampai ia merasa kualitasnya sebagai Ibu tidak ada artinya..

Mungkin kita adalah tetangga, yang kurang sekali peka dengan Ibu baru di sebelah kita. Padahal sekedar kiriman makanan, camilan, atau kunjungan tiap sore sebagai teman, tentu sangat si ibu nantikan..

Mungkin kita adalah mertua, yang susah menahan diri untuk berkomentar. Mengkritiknya di sana sini. Membandingkan dengan cara parenting kita di masa lalu. Padahal lupa, bahwa si Ibu punya insting yang terasah pada anaknya. Dan tentu, ada harga diri sang Ibu yang harus berusaha kita jaga..

Dan mungkin kita adalah orang yang tak sengaja bertemu dengan si Ibu di pusat perbelanjaan. Jelas jelas belum kenal tapi berceletuk nakal, "Anaknya kurus ya mba? ASInya kurang ya??" Jangaan.. pliss jangan.. baru juga ketemu sekali, tapi nge judge nya udah kayak Hakim Mahkamah Konstitusi. Niatnya mungkin becanda, tapi buat Ibu baru yang masih meraba-raba, sungguh perih rasanya..

Ada kepekaan yang mesti lebih di asah, bagi kita sebegai orang disekitarnya. Untuk meyakinkan, bahwa menjadi Ibu bukanlah perjuangan sendiri. Bahwa jika mendidik anak membutuhkan satu Desa, maka dibutuhkan pula jumlah dukungan yang sama untuk menjaga kewarasan seorang Ibu.

When it takes a village to raise a kid.. trust me, it is also takes a village to support a Mom!

Jangan lupa bahagia yaa hari ini! ;)

~Jayaning Hartami

No comments:

Post a Comment