Wednesday, September 27, 2017

Kooptasi Warung Rakyat

PRESS RELEASE
GERAKAN KOPERASI/ KOPERASI BERSAMA SELURUH
ELEMEN MASYARAKAT SIPIL

HENTIKAN KOOPTASI WARUNG RAKYAT MELALUI DOMINASI JALUR DISTRIBUSI OLEH RITEL MODERN

Pengantar

Dalam pemberitaan Detik.com (19 September 2017) Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita rencana akan menerapkan kebijakan dimana ritel-ritel modern boleh salurkan barang ke warung-warung tradisional.

Kebijakan itu rencana akan diberlakukan mulai Oktober 2017 mendatang. Alasannya agar warung memperoleh harga yang murah karena langsung memperoleh barang dari distributor besar. Untuk kebijakan tersebut, Mendag rencana akan menggandeng peritel besar seperti Alfamart, Indomaret dan Hypermart yang jaringan gerainya tersebar dimana-mana.
Kebijakan tersebut nampak menolong warung tradisional dan masyarakat sebagai konsumen. Namun sesungguhnya dengan kebijakan tersebut, Mendag justru memuluskan jalan bagi ritel-ritel modern untuk mengkooptasi warung-warung tradisional melalui skema distribusi barang. Analisisnya sebagai berikut:
1. Selama ini keberadaan pasar dan ritel/ warung tradisional tergerus dengan massifnya ritel modern berjejaring di berbagai daerah di Indonesia. Berdasarkan data dari Kementerian Perindusrian pada tahun 2007 dan Kementrian Perdagangan pada tahun 2011 jumlah pasar tradisional di Indonesia mengalami penurunan cukup drastis dari tahun 2007-2011. Pada tahun 2007,  jumlah pasar tradisional di Indonesia mencapai 13.450. Tapi pada tahun 2011, jumlahnya tinggal 9.950. Di sisi lain Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) juga merilis kenaikan jumlah retail modern yang cukup signifikan tahun 2007-2011. Kenaikannya hampir delapan ribu retail modern. Jadi, pasar tradisional mengalami penurunan lebih dari tiga ribu, sedangkan pasar modern mengalami kenaikan sekitar delapan ribu.

2. Tergerusnya pasar dan ritel/ warung tradisional disikapi oleh berbagai Pemerintah Daerah (Pemda) dengan melakukan moratorium pendirian ritel modern khususnya skala mini market. Beberapa kota yang melakukan moratorium seperti: Kab. Banyumas, Kab. Sumenep, Kab. Sukoharjo, Kab. Kuningan, Kab. Bogor, Kab. Sragen, Kab. Pangandaran dan berbagai kota/ kabupaten lain di Indonesia.

3. Ditambah Pemerintah Pusat melakukan pembatasan pemilikan ritel modern yang melakukan penambahan jaringan. Dimana 40 persen harus dimiliki oleh masyarakat selaku pemawara laba yang akan dimasukkan dalam revisi Perpres No. 112 Tahun 2007 tentang Penataan Pasar Modern dan Tradisional.

4. Kebijakan-kebijakan tersebut membuat ritel modern berjejaring tidak bisa menambah toko yang secara mandiri dimilikinya. Hasilnya adalah mereka membuat strategi berbeda: distribusi barang. Darah dari bisnis ritel adalah turn over barang atau tingkat penjualan produk suatu toko. Sehingga toko sekedar ruang pajang (display) bagi produk-produk tersebut. Dengan cara demikian, distribusi produk ritel modern ke warung tradisional sama dengan melakukan kooptasi pasar tradisional.

5. Dengan dukungan jalur distribusi dan sistem yang modern, kooptasi tersebut akan berdampak sistemik secara jangka panjang dimana pasar tradisional akan semakin tergerus omsetnya. Sedangkan bagi pemilik warung tradisional, kooptasi hanya memposisikan mereka sebagai gerai mini dari ritel modern. Masyarakat mungkin akan menikmati harga yang lebih kompetitif dari skema distribusi tersebut.

6. Dampak kooptasi melalui dominasi jalur distribusi ritel modern ke warung tradisional adalah:
a. Terjadinya capital out flow besar-besaran dari pasaran rakyat ke pasaran modern. Yang artinya sama dengan terjadinya capital out flow dari desa ke kota (Pusat) karena ritel-ritel pemasok merupakan pengusaha besar nasional.
b. Makin terkonsentrasinya modal di Pusat yang justru akan semakin memperlebar ketimpangan ekonomi yang terjadi di Indonesia sekarang ini.
c. Secara jangka panjang menghilangkan keragaman produk di pasaran rakyat karena skema distribusi menuntut efisiensi pengadaan produk.
d. Terjadi monopoli pasar oleh beberapa pengusaha ritel besar karena kapasitas jalur distibusinya dan hal itu melanggar UU Persaingan Usaha.
e. Monopoli pasar dan konsentrasi modal secara jangka panjang akan membuat swadaya dan kemandirian lokal menjadi hilang. Usaha rakyat sebagai benteng-benteng ekonomi lokal tergerus dan dapat terpengaruh langsung oleh fluktuasi ekonomi global akibat kooptasi jalur distribusi.
f. Mematikan koperasi-koperasi yang menyelenggarakan ritel sebagai bentuk ekonomi kolektif yang hidup di masyarakat.

Untuk itu kami mendesak Pemerintah (Cq. Menteri Perdagangan dan Menteri Koperasi) untuk:
1. Menghentikan kebijakan kooptasi distribusi barang ritel modern ke warung tradisional.
2. Membatasi pembukaan toko-toko ritel modern oleh jejaring ritel nasional karena terbukti telah menggerus dan mematikan pasar tradisional, warung tradisional dan toko-toko koperasi yang dimiliki masyarakat.
3. Mendukung pembangunan sekunder dan primer koperasi konsumen serta koperasi pasar secara massif di berbagai daerah sebagai cara mengintegrasikan jalur distribusi barang ke warung tradisional dengan alasan:
a. Pemilik warung adalah anggota dari koperasi konsumen atau koperasi pasar sehingga pemilik warung juga akan memperoleh revenue sharing dari proses distribusi barang tersebut selain memperoleh harga kulakan yang lebih kompetitif.
b. Warung-warung tradisional yang terintegrasi dengan koperasi akan memperoleh pendampingan sosial-ekonomi-budaya sebagai kewajiban inheren koperasi. Bukan bisnis semata yang hanya berbentuk aliran barang dan uang saja.
c. Integrasi pasar ritel melalui koperasi-koperasi lokal tidak akan membuat capital out flow terjadi dari desa ke kota atau dari pinggiran ke pusat karena perusahaan dan bisnis koperasi bersifat redistributif bagi anggota dan masyarakat.
d. Koperasi bersama masyarakat lokal lebih mampu menjaga keragaman barang termasuk barang-barang produksi masyarakat setempat.
e. Melalui koperasi, demokrasi ekonomi sebagaimana Pasal 33 ayat 4 UUD 1945 benar-benar akan terwujud karena koperasi menjamin tata milik, tata kelola dan tata distribusi dari, oleh dan untuk masyarakat.
f. Dengan model redistributifnya, koperasi merupakan instrumen efektif untuk mengurangi ketimpangan ekonomi yang saat ini terjadi di Indonesia. Dimana hal itu diakui oleh Ekonomi Internasional Joseph Stiglitz dalam International Cooperative Summit 2016 lalu di Quebec dimana koperasi dapat diperankan sebagai alternatif instrumen trickle-down effect yang gagal dilakukan oleh korporasi swasta.

Penutup

Liberalisasi di seluruh sektor perekonomian secara jangka panjang akan membuat perekonomian Indonesia rapuh. Negara harus hadir dengan regulasi dan kebijakan yang tepat dan mendukung terutama dan yang utama bagi pelaku usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi. Kebijakan afirmasi tersebut sangat dibutuhkan mengingat struktur pelaku ekonomi saat ini didominasi oleh skala mikro dan kecil yang jumlahnya 59 juta yang menyerap tenaga kerja mencapai 107 juta atau sebanyak 96,71 persen dengan kontribusi terhadap PDB mencapai 61,41 persen (2016).

Komitmen sejati Pemerintah kepada demokrasi ekonomi harus diperkuat dengan mendorong melalui regulasi dan kebijakan bagi tumbuh dan berkembangnya koperasi-koperasi skala menengah dan besar di seluruh sektor perekonomian, termasuk sektor ritel di Indonesa. Pengalaman NTUC Fairprice Singapore dimana koperasi konsumen dapat menguasai 65 persen pangsa pasar dapat menjadi rujukan yang bisa diadaptasi kisah suksesnya di Indonesia.

Negara harus hadir dengan cara-cara yang tepat sehingga bukan sekedar populisme kebijakan yang bermata dua dan secara jangka panjang justru berbahaya bagi kemandirian dan ketahanan ekonomi nasional. Mendag harus menghentikan kebijakan tersebut di atas sekarang juga!

Kami gerakan koperasi bersama seluruh elemen masyarakat sipil:

1. Firdaus Putra, HC. | Direktur Kopkun Institute, Purwokerto
2. Untari Bisowarno | Ketua Koperasi Setia Budi Wanita, Malang
3. Sharmila | Ketua INKOWAPI, Jakarta
4. Dr. Walid | Ketua Pusat Koperasi Konsumen Anugerah Damandiri Sejahtera (Puskopen ADS), Semarang
5. Ilham Nasai, S.Sos. | Ketua Lembaga Studi dan Pengembangan Perkoperasian Indonesia (LSP2I), Jakarta
6. Agung Sudjatmoko | Ketua Harian Dewan Koperasi Indonesia (DEKOPIN), Jakarta
7. Henut Hendro, SE. dan Khairul Bakrie | Pimpinan Cabang Bidang Ekonomi Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Bekasi
8. Slamet Fitriono | PC Serikat Pekerja Automotive Mesin dan Komponen (SPAMK) FSPMI, Bekasi
9. Rofi Mustaghfiri, Anggota Kopma UNY, Yogyakarta
10. Pendi Yusup Muchtar e, | Ketua Umum KOPERASI PEMUDA INDONESIA
11. Rudi Kurniawan, M.T., | Dosen & WK III Bid. Kemahasiswaan & Kemitraan STMIK "AMIKBANDUNG" 

No comments:

Post a Comment