Monday, February 19, 2018

KUALITAS PENDIDIKAN DI INDONESIA

Ada 3 artikel bagus yg ditulis oleh Elizabeth Pisani tentang kualitas pendidikan di Indonesia. Pisani adalah jurnalis Reuters yg banyak menulis tentang Indonesia. Salah satu bukunya, 'Indonesia Etc', adalah buku bagus yg mendapat banyak pengakuan internasional (saya punya bukunya tapi baru baca 1 bab, hehe..).

Dari dulu saya tertarik banget dengan masalah pendidikan. Katanya, masa depan suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas pendidikannya. Penjajah Belanda konon membiarkan rakyat Indonesia tetap bodoh, supaya lebih mudah dikendalikan. Orang yg bodoh lagi suka ribut antar sesama tidak akan sempat memikirkan cara2 untuk memperbaiki nasib atau menjadi lebih maju.

Back to topic.
Dalam tulisannya, Pisani menyoroti prestasi anak2 Indonesia dalam tes PISA. PISA adalah tes yg diadakan OECD untuk menguji kemampuan anak2 usia 15 tahun di puluhan negara dalam bidang sains (science), matematika (math) dan membaca (reading). Tes ini diadakan 3 tahun sekali. Di 2 tes terakhir pada tahun 2012 dan 2015, Indonesia mendapat peringkat 60-an dari 70 negara di ketiga bidang yg diujikan. Jauh di bawah negara2 tetangga di ASEAN seperti Thailand, Malaysia, Vietnam, apalagi Singapura.

Contohnya: hasil tes 2015 menunjukkan, 55% anak Indonesia punya kemampuan sangat buruk di tes membaca. Semua soal tes PISA sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia loh padahal.. 😅 Reading comprehension mereka ternyata sangat rendah. Mereka bisa membaca, namun mereka tidak mampu untuk menemukan ide utama dalam sebuah paragraf, memahami keterkaitan antar kalimat, maupun menemukan informasi yg tepat dalam paragraf (orang2 yg reading comprehensionnya rendah begini tuh yg jadi sasaran empuknya hoax. Hahaha..).

Hasil tes anak Indonesia yg jauh di bawah negara2 tetangga di ASEAN ini menunjukkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia masih sangat rendah. Konon ini juga menunjukkan bahwa anak Indonesia tidak punya basic skills yg kelak akan dibutuhkan di dunia kerja, seperti critical thinking atau problem solving capability. Kondisi ini tentu tidak menguntungkan bagi Indonesia di era MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN), dimana tenaga kerja bisa bekerja bebas lintas negara.

Sebenarnya memang aneh.. Saya banyak mendengar keluhan para ortu yg bilang bahwa beban studi anak2nya di sekolah sekarang amat berat. PR nya banyak, tugasnya susah2. Soal2 untuk anak SD kadang terlalu 'ajaib' saking susahnya. Anak SD aja sudah les mata pelajaran (jaman saya SD dulu mah isinya cuma senang2 hahaha..).

Lah sudah begitu lantas mengapa anak Indonesia hasil tesnya jauh di bawah negara2 tetangga di ASEAN? Sudah gak pintar, budi pekertinya tidak dapat dibanggakan pula.

Lantas apa gunanya segala beban studi yg berat itu?

Pisani mencoba menganalisis, mengapa kira2 kualitas pendidikan Indonesia sangat rendah. Berikut beberapa analisisnya:

1. Dana pendidikan di Indonesia sebenarnya sangat tinggi dianggarkan di APBN. Ortu2 juga keluar biaya besar untuk pendidikan. Tapi dana2 itu entah 'bocor' ke mana, karena kualitas pendidikan ya gitu2 aja. Universitas2 terbaik di Indonesia pun tidak bisa masuk top 100 Asian Universities.

2. Kualitas guru di Indonesia masih sangat rendah. Salah satu sebabnya, banyak orang sebenarnya tidak punya passion mengajar, namun menjadi guru hanya karena ingin menjadi PNS atau butuh pekerjaan. Di masa Soeharto, guru adalah birokrat dan bukan pendidik. Dan itu terbawa sampai sekarang.

3. Sudah kualitasnya rendah, banyak guru dan kepsek yg suka 'membolos', khususnya di daerah2 terpencil. Ada yg tidak muncul di sekolah hingga berbulan2! Padahal gaji jalan terus. Murid2 jadi terbengkalai. Kalaupun gurunya datang ke sekolah, murid2 hanya diberi tugas mengerjakan LKS karena gurunya malas mengajar.

4. Di Indonesia, tidak ada sistem yg memberi reward bagi guru yg kreatif dalam mengajar, mendorong siswanya untuk maju dan sanggup berpikir kritis, dan sebagainya. Sistem kepangkatan masih diutamakan pada lamanya bekerja / senioritas, dan bukan pada kemampuan sang guru.

5. Sejak era otonomi daerah, kualitas pendidikan malah makin hancur. Kepala sekolah kini dipilih oleh kepala daerah dengan sistem balas jasa. Kejadian nyata di suatu daerah, ada kepsek yg dipecat karena kebocoran uang sekolah dan berjudi. Ia kemudian bisa diangkat kembali jadi kepsek, hanya karena ia menjadi timses kepala daerah yg menang dalam pilkada! Kepsek2 juga kini rela melakukan apa saja demi menyenangkan kepala daerahnya.

6. Di Indonesia, segala sesuatu bisa dibeli, termasuk ijazah. Orang bersekolah/kuliah untuk dapat ijazah, bukan untuk belajar sesuatu. Karena itu kualitas jadi tidak penting, yg penting punya gelarnya.

7. Berdasarkan penelitian,di negara2 lain tutorial/les selaku berhasil membuat anak lebih pintar, namun hal itu tidak berlaku di Indonesia. Mungkin karena tipe les di Indonesia hanya mengajarkan tips/trik cara mengerjakan tes/ujian, dan bukan mengajari anak untuk benar2 bisa memecahkan masalah (kadang bahkan guru lesnya yg membikinkan PR anak lesnya. Hahaha).

8. Kurikulum 2013 yg sempat akan diberlakukan bahkan meniadakan mata pelajaran sains untuk memberikan waktu lebih bagi mata pelajaran agama, PKN dan matematika. Bayangkan apa jadinya kalau sains ditiadakan.

Masih panjang uraian Pisani di artikel2nya. Kalo tertarik, silahkan dibaca sendiri, hehe..

P.S: janganlah memandang tulisan2 Pisani ini sebagai bentuk hinaan (biarpun judulnya bikin kuping panas 😅), namun pandanglah sebagai kritik yg membangun.

Entah bagaimana caranya untuk bisa menciptakan pendidikan Indonesia yg lebih baik. Masalahnya terlalu kompleks. 😥

http://indonesiaetc.com/indonesian-kids-dont-know-how-stupid-they-are

http://indonesiaetc.com/apparently-42-of-young-indonesians-are-good-for-nothing

http://www.insideindonesia.org/a-nation-of-dunces

Sumber:
https://www.facebook.com/linda.latumahina.9/posts/10213468198693888

No comments:

Post a Comment